free web hit counter
Jatim Times Network Logo
Poling Pilkada 2024 Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Seni dan Budaya

Ratu Mas Blitar: Ibu Arya Blitar dan Leluhur Empat Dinasti Jawa

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

08 - Aug - 2025, 09:44

Placeholder
Makam Kanjeng Ratu Mas Blitar di Astana Panitikan, Umbulharjo, Yogyakarta. Permaisuri Pakubuwana I, ibu Arya Blitar, dan leluhur empat dinasti besar Jawa. (Foto: Aunur Rofiq/ JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam sejarah panjang kerajaan-kerajaan di tanah Jawa, tokoh-tokoh perempuan kerap terpinggirkan dari sorotan utama, meskipun banyak di antara mereka memegang peran sentral dalam pembentukan arah kekuasaan dan spiritualitas istana. 

Salah satu sosok penting yang kerap diabaikan adalah Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I. Ia bukan hanya memainkan peran domestik di dalam lingkungan keraton, melainkan tampil sebagai figur kunci dalam membentuk jalur genealogis empat dinasti besar Jawa, yaitu Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Dengan pemahaman yang mendalam atas spiritualitas Islam-Jawa serta kecakapan politik tingkat tinggi, Ratu Mas Blitar meletakkan fondasi generasi penerus kerajaan yang kelak mengguncang struktur kekuasaan Mataram dari dalam.

Baca Juga : Jejak Shodanco Muradi di Kampung Jepang: Mahasiswa KKN Unisba Blitar Bangun Destinasi Edukasi Sejarah

Yang sering terlupakan dalam narasi sejarah adalah bahwa sang ratu juga merupakan ibu dari Pangeran Arya Blitar, tokoh utama dalam Perang Suksesi Jawa Kedua, yang kemudian memproklamasikan diri sebagai Raja Mataram Kartasekar, sebuah kerajaan tandingan bagi Kartasura.

Asal-Usul dan Jejak Genealogi

Garis keturunan Ratu Mas Blitar berawal dari Sultan Trenggana, raja ketiga Kesultanan Demak, yang menikahi Ratu Pembayun, putri Sunan Kalijaga dari permaisuri Siti Zaenab, putri Syekh Siti Jenar.Dari pasangan ini lahir dua jalur trah utama. Yang pertama melalui Ratu Mas Cempaka, permaisuri Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Yang kedua melalui Pangeran Timoer, Bupati pertama Kadipaten Madiun.

Melalui Ratu Mas Cempaka dan putranya, Pangeran Benowo, garis ini berlanjut hingga kepada Dyah Ayu Banowati yang kemudian menjadi permaisuri Panembahan Hanyakrawati dan bergelar Ratu Mas Hadi, ibu dari Sultan Agung Hanyakrakusuma.

Sementara itu, dari Pangeran Timoer dan Ratu Timur, adik Arya Penangsang, lahirlah Ratu Ayu Ratna Jamila yang dikenal pula sebagai Retno Dumilah. Ia menikah dengan Panembahan Senapati, pendiri Mataram Islam. Dari pernikahan ini lahir Kanjeng Pangeran Adipati Juminah atau Panembahan Juminah, yang memegang jabatan sebagai Bupati Madiun antara tahun 1601 hingga 1613.

Panembahan Juminah juga merupakan paman dari Sultan Agung. Setelah wafatnya Panembahan Hanyakrawati, Sultan Agung menikahkan ibunya, Ratu Mas Hadi, dengan Panembahan Juminah. Dari pernikahan ini lahirlah Pangeran Adipati Balitar II, yang menjabat sebagai Bupati Madiun sejak tahun 1645 hingga 1677.

Makam Panembahan Juminah

Garis keturunan ini berlanjut melalui Pangeran Tumenggung Balitar Tumapel III, Bupati Madiun dari tahun 1677 hingga 1703, yang menurunkan Pangeran Arya Balitar IV, Bupati Madiun antara tahun 1704 hingga 1709. Dari garis inilah lahir Gusti Kanjeng Ratu Poeger, yang kemudian bergelar Kanjeng Ratu Mas Blitar, permaisuri Susuhunan Pakubuwana I.

Sebagai permaisuri utama di lingkungan Kraton Kartasura, Ratu Mas Blitar melahirkan tiga putra utama. Yang pertama adalah Gusti Raden Mas Suryaputra, yang kelak naik takhta sebagai Sunan Amangkurat IV. Yang kedua, Gusti Raden Mas Sasangka atau Pangeran Adipati Purbaya. Dan yang ketiga adalah Gusti Raden Mas Sudomo, yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar.

Dari Amangkurat IV, lahirlah generasi penerus yang memperluas percabangan kekuasaan Mataram. Mereka adalah Pangeran Mangkunagara Kartasura, Pangeran Prabasuyasa yang kemudian menjadi Susuhunan Pakubuwana II, serta Pangeran Mangkubumi yang memproklamasikan diri sebagai Sultan Hamengkubuwana I dan mendirikan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1755.

Sementara itu, dari Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Blitar lahirlah Raden Ayu Wulan, yang kemudian dinikahkan dengan Pangeran Arya Mangkunagara, putra Amangkurat IV. Dari pernikahan ini lahirlah Raden Mas Said, tokoh sentral dalam Perang Jawa dan pendiri Kadipaten Mangkunegaran dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara I.

Dengan demikian, Ratu Mas Blitar berdiri sebagai figur sentral dalam jaringan kekuasaan Jawa abad kedelapan belas. Ia bukan hanya permaisuri, melainkan juga ibu dan nenek dari para penguasa yang menentukan arah sejarah Tanah Jawa selama hampir dua abad berikutnya. Ia adalah perwujudan dari keberlanjutan kekuasaan, spiritualitas, dan legitimasi politik yang menyatu dalam satu sosok aristokrat perempuan.

Peran Strategis di Keraton Kartasura

Ratu Mas Blitar

Pernikahannya dengan Pakubuwana I membawa Ratu Mas Blitar ke pusat kekuasaan kerajaan Mataram di Kartasura. Ia bukan hanya mendampingi raja secara seremonial, tetapi juga secara substansial ikut menentukan arah kebijakan spiritual dan budaya istana. Dalam tradisi Islam-Jawa, permaisuri bukanlah figur pasif. Ia dapat menjadi pusat kekuatan magis-politik (kasekten) yang menopang legitimasi raja.

Antara tahun 1729 hingga wafatnya pada 1732, Ratu Mas Blitar menunjukkan peran kultural dan spiritualnya melalui commissioning tiga karya besar yang sarat dengan simbolisme religius: Carita Sultan Iskandar, Carita Nabi Yusuf, dan Kitab Usulbiyah. Tiga naskah ini bukan sekadar sastra keraton, tetapi manifestasi dari ideologi kekuasaan yang menggabungkan Islam, tasawuf, dan kebatinan Jawa.

Carita Sultan Iskandar merupakan narasi alegoris tentang Raja ideal dalam tradisi Islam, menjadikan Alexander Agung (Dhul Qarnayn) sebagai model pemimpin paripurna. Buku ini bukan semata untuk nostalgia dinasti, tetapi sebagai kerangka magis-ideologis guna membentuk karakter kepemimpinan cucunya, Pakubuwana II, yang saat itu masih muda dan lemah secara politik.

Kemudian, Carita Nabi Yusuf menawarkan teladan kesalehan dan keindahan dalam narasi Islam-Jawa, sekaligus menjadi pernyataan teologis bahwa keindahan fisik dan spiritual dapat menjadi dasar kekuasaan yang sah. Melalui karya ini, Ratu Mas Blitar menunjukkan bahwa keluhuran akhlak adalah basis kesaktian sejati.

Yang paling luar biasa adalah Kitab Usulbiyah, teks mistik yang mendudukkan dirinya sebagai hamba pilihan Allah dan penerima syafaat Nabi. Dalam teks ini dikatakan, siapa pun yang memiliki naskah tersebut akan dilindungi 7.700 malaikat, kebal terhadap sihir, bahkan kebal senjata di medan perang. Naskah ini menjadikan dirinya sebagai pusat kasekten dan simbol keabsahan spiritual dalam konflik politik yang makin menguat antara faksi keraton dan elit lokal.

Doktrin Mistis Kerajaan: Suluk Garwa Kancana

Tak hanya tiga naskah utama itu, Ratu Mas Blitar juga menjadi inisiator Suluk Garwa Kancana, sebuah suluk yang mengawinkan tradisi kerajaan militer Jawa dengan jalan spiritual sufi. Di dalamnya terdapat perumpamaan pancaindra sebagai pejabat kerajaan yang harus ditundukkan sang Raja demi mencapai makrifat.

Teks ini mencerminkan ajaran jihad akbar dalam tradisi tasawuf: perang melawan hawa nafsu. Raja digambarkan sebagai sosok yang harus menaklukkan dirinya sendiri sebelum menaklukkan dunia. Suluk ini menjadi kerangka normatif untuk mencetak pemimpin yang tidak hanya berkuasa secara politik, tetapi juga suci secara spiritual. Tidak mengherankan jika model ini kemudian diadopsi oleh Mangkunagara I.

Baca Juga : Maraknya Peredaran Miras Oplosan, Mas Dhito Minta Peredaran Miras Ditertibkan

Pangeran Arya Blitar: Raja Anti VOC di Tengah Runtuhnya Kartasura

Awal abad ke 18 adalah periode yang menentukan dalam sejarah politik Jawa. Di balik tembok Keraton Kartasura yang mulai retak, berlangsung pertarungan sengit antara legitimasi spiritual, ambisi politik, dan campur tangan kekuasaan kolonial. Dalam pusaran konflik tersebut, muncul sosok Pangeran Arya Blitar, putra Pakubuwana I dan Ratu Mas Blitar, yang menolak tunduk pada dominasi Kompeni dan memilih jalan perlawanan.

Wafatnya Pakubuwana I pada 1719 menjadi pemicu krisis dinasti. Raden Mas Suryaputra naik takhta sebagai Amangkurat IV bukan atas musyawarah keraton, melainkan melalui dukungan VOC. Penunjukan ini segera memicu ketegangan, terutama di kalangan pangeran muda yang merasa memiliki klaim lebih kuat atas takhta, termasuk Pangeran Arya Blitar dan saudaranya, Pangeran Purbaya.

Pakubuwana VII

Penurunan hak apanage Arya Blitar atas wilayah strategis seperti Blora dan Jagaraga, ditambah semakin dominannya kekuatan VOC di istana, menumbuhkan benih pemberontakan. Kartasura bukan lagi pusat spiritual dan kultural Jawa, melainkan loji besar dengan bayonet asing berjaga di setiap sudut. Di mata para bangsawan dan kyai, raja yang berlindung di balik meriam VOC telah kehilangan sinar wahyu kedaton.

Menarik diri dari pusat kekuasaan, Arya Blitar mendirikan basis perlawanan di Kartasekar, sebuah bekas keraton Sultan Agung yang sarat makna spiritual. Di sinilah, pada tahun 1720, ia diproklamasikan sebagai Sultan Ibnu Mustafa Pakubuwana ing Alaga Senapati Abdulrahman Sayidin Panatagama. Prosesi penobatan yang disaksikan para ulama dan kyai menunjukkan bahwa perjuangan ini bukan sekadar rebutan kekuasaan, tetapi pembangkangan terhadap raja boneka Kompeni.

Kartasekar segera menjadi pusat resistensi. Tokoh tokoh penting seperti Ki Garwakanda, Ki Secadikara, dan para panglima desa bahu membahu membentuk pasukan rakyat. Garwakanda, sang patih lapangan, memimpin penyerbuan ke Kartasura demi membebaskan anaknya, Ragum, dari penjara raja. Aksi ini melambangkan dendam personal yang menyatu dengan perjuangan kolektif rakyat Jawa.

Namun kekuatan spiritual dan semangat rakyat tidak mampu menandingi superioritas militer VOC. Serangan balasan dari arah Pamengkang dengan senjata berat seperti meriam gurnat dan gurnada menghantam barisan Kablitaran. Korban berjatuhan, termasuk Ki Secadikara dan Panji Tohpati. Dalam situasi genting, Pangeran Arya Blitar memerintahkan mundur ke Kapurbayan, pusat spiritual sekaligus benteng terakhir.

Di Kapurbayan, bersama Pangeran Purbaya, Arya Blitar mencoba membangun kekuatan baru. Rakyat dan elite spiritual meneguhkan kembali legitimasi kerajaannya. Namun pada tahun 1721, serangan gabungan pasukan VOC dan loyalis Kartasura menghancurkan Kartasekar. Arya Blitar gugur dalam pelarian di Lumajang, tempat yang sebelumnya ia taklukkan bagi Pakubuwana I, sebuah ironi sejarah yang pahit.

Meskipun singkat, pemerintahan Arya Blitar memancarkan satu pesan penting bahwa takhta Jawa tidak boleh lahir dari senjata Kompeni, melainkan dari wahyu dan kepercayaan rakyat. Ketika Arya Blitar gugur, semangatnya tetap hidup dalam darah keturunannya. Dari pernikahannya dengan Raden Ayu Brebes lahirlah Raden Ayu Wulan, ibu dari Raden Mas Said, kelak dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.

Sambernyawa, cucu dari Arya Blitar dan Purbaya, menjelma menjadi simbol kesinambungan perlawanan Jawa terhadap kolonialisme. Ia memimpin perang gerilya melawan VOC selama 16 tahun, dan baru berdamai dalam Perjanjian Salatiga 1757. Kadipaten Mangkunegaran yang lahir dari perjanjian itu bukanlah kompromi kekuasaan, melainkan institusi yang dibangun dari puing luka sejarah dan perlawanan berdarah.

Pura mangkunegaran

Perlu dicatat bahwa dalam sejarah Blitar terdapat pula sosok lain yang menyandang nama Arya Balitar. Tokoh ini bukanlah Raden Mas Sudomo, melainkan seorang adipati Blitar pada masa awal Kesultanan Demak. Ia berasal dari garis keturunan mulia, sebagai putra Raden Kusen, Adipati Terung, yang juga adik kandung Raden Patah, sultan pertama Demak. Dengan silsilah tersebut, Arya Balitar termasuk dalam trah bangsawan awal Demak dan merupakan saudara Adipati Sengguruh, sekaligus tokoh penting dalam memperluas pengaruh Kesultanan Demak di wilayah timur Jawa.

Di sinilah banyak kekeliruan terjadi. Tidak sedikit orang yang mengira bahwa Raden Mas Sudomo adalah Arya Balitar yang menjabat sebagai adipati Blitar. Padahal, yang sebenarnya menjadi adipati Blitar pada masa itu adalah Arya Balitar, putra dari Raden Kusen.

Catatan Akhir

Astana Nitikan

Ratu Mas Blitar menghembuskan napas terakhir di Keraton Kartasura pada 5 Januari 1732. Kepergian sang permaisuri menutup sebuah bab penting dalam sejarah dinasti Mataram. Jenazahnya dimakamkan di Astana Panitikan, Yogyakarta, di sisi makam putra tercintanya, Pangeran Arya Blitar.

Bukan semata permaisuri dalam struktur feodal Mataram, Ratu Mas Blitar adalah pusat genealogi politik dan spiritual yang menghubungkan empat dinasti besar Jawa: Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Melalui keturunannya, ia meneguhkan jalur legitimasi kekuasaan sekaligus menyalurkan warisan spiritual yang menjadi dasar perlawanan terhadap hegemoni kolonial. Kiprahnya dalam dunia intelektual dan spiritual keraton menunjukkan perannya sebagai penjaga tradisi sekaligus perancang arah ideologi istana. Semangat perlawanan yang mewarnai hidup putranya, Pangeran Arya Blitar, adalah cerminan darah, ajaran, dan keteguhan hati sang ibu yang terus hidup melampaui zamannya.

Dengan menempatkan Ratu Mas Blitar sebagai poros utama dalam narasi sejarah, kita tak hanya membongkar kelupaan kolektif terhadap peran perempuan, tetapi juga membuka jalan baru dalam memahami struktur kekuasaan Jawa: bahwa di balik raja dan perang, ada ibu, guru, dan pemimpin spiritual yang menanamkan kekuatan sejati.


Topik

Hiburan, Seni dan Budaya Sejarah Sejarah Blitar Ratu Mas Blitar Ibu Arya Blitar Leluhur Empat Dinasti Jawa



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Jombang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Sri Kurnia Mahiruni