JATIMTIMES - Pada tanggal 24 Maret 1792, Sri Sultan Hamengkubuwono I, pendiri Kesultanan Yogyakarta, wafat setelah memerintah selama 37 tahun. Pemerintahannya yang panjang dan penuh kebijaksanaan tidak hanya membangun pondasi politik yang kokoh, tetapi juga meninggalkan warisan penting dalam tata kelola sumber daya alam. Salah satu kebijakan strategisnya yang jarang dibahas adalah regulasi penambangan dan pemanfaatan batu kapur gamping di wilayah Kesultanan Yogyakarta, yang ditetapkan pada tahun 1791.
Regulasi ini tertuang dalam Dokumen 14A, yang mengatur eksploitasi batu kapur di Gunung Gamping. Peraturan tersebut mencerminkan bagaimana Sultan Hamengkubuwono I berupaya mengendalikan sumber daya alam, menyeimbangkan kepentingan ekonomi, serta mempertahankan kedaulatan kerajaan di tengah tekanan kolonial. Melalui artikel ini, kita akan menelusuri bagaimana kebijakan tersebut menjadi bagian dari strategi besar Kesultanan Yogyakarta dalam menjaga kemandiriannya.
Sultan Hamengkubuwono I: Peletak Fondasi Kesultanan Yogyakarta
Baca Juga : Panorama Wisata Bukit Gegger Hidayah, Suguhkan Pemandangan dan Vila yang Menyatu dengan Alam
Pada tanggal 6 Agustus 1717, seorang anak laki-laki lahir dari rahim Mas Ayu Tejawati, seorang selir Susuhunan Mataram, Amangkurat IV. Bayi itu diberi nama Raden Mas Sujana, yang kelak tumbuh menjadi sosok tangguh dan dikenal sebagai Pangeran Mangkubumi. Sejarah mencatat bahwa ia bukan sekadar pewaris darah raja, melainkan seorang pemimpin yang membentuk masa depan Yogyakarta dengan tangan besi dan kebijaksanaan.
Masa muda Pangeran Mangkubumi diwarnai gejolak politik yang membelah Mataram. Ketika pemberontakan orang-orang Tionghoa meletus di Batavia pada 1740 dan menjalar ke seluruh Jawa, kekuasaan Pakubuwana II—kakaknya—goyah. Kartasura, pusat pemerintahan Mataram, jatuh ke tangan pemberontak pada tahun 1742, memaksa Pakubuwana II mencari perlindungan ke Surakarta dengan bantuan VOC dan Cakraningrat IV dari Madura. Namun, ketidakstabilan politik tak berhenti di situ. Pangeran Mangkubumi kemudian terlibat dalam perebutan kekuasaan, terutama setelah ia berhasil merebut kembali tanah Sukawati dari tangan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) pada tahun 1746.
Alih-alih mendapatkan penghargaan, Pangeran Mangkubumi justru menghadapi pengkhianatan. Hasutan Patih Pringgalaya dan tekanan dari Baron van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, membuat Pakubuwana II mengingkari janji sayembaranya. Keadaan ini memicu amarah Pangeran Mangkubumi, yang akhirnya memilih meninggalkan Surakarta pada Mei 1746 dan bergabung dengan Raden Mas Said dalam perlawanan bersenjata. Demi memperkuat aliansi, ia menikahkan putrinya, Rara Inten, dengan keponakannya itu.
Perlawanan Mangkubumi menjadi ancaman serius bagi VOC. Selama lima tahun, ia melancarkan perang gerilya yang menguras sumber daya Belanda. Hingga akhirnya, pada tahun 1755, sebuah perjanjian bersejarah diteken: Perjanjian Giyanti. Perjanjian ini membagi Mataram menjadi dua, dan Pangeran Mangkubumi resmi menjadi penguasa di wilayah barat dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I. Ia mendirikan ibu kota baru, Yogyakarta, dan meletakkan dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta yang bertahan hingga kini.
Sebagai sultan, Hamengkubuwono I tidak hanya dikenal sebagai ahli strategi perang, tetapi juga pemimpin visioner yang membangun kerajaan dengan cermat. Ia mengembangkan angkatan bersenjata yang lebih kuat daripada tentara VOC di Jawa, menjadikan Yogyakarta sebagai pusat kekuatan politik dan militer yang menandingi Surakarta. Kehebatannya juga tercermin dalam arsitektur. Salah satu warisan paling monumental dari kepemimpinannya adalah Taman Sari, yang dirancang oleh seorang arsitek Portugis bernama Demang Tegis.
Meskipun akhirnya berdamai dengan VOC, bukan berarti Hamengkubuwono I berhenti melawan hegemoni Belanda. Ia berupaya memperlambat pembangunan benteng VOC di Yogyakarta dan menolak campur tangan mereka dalam urusan pemerintahan kesultanan. Bahkan, Belanda sendiri mengakui bahwa perang melawan Pangeran Mangkubumi adalah salah satu pertempuran terberat yang pernah mereka hadapi di Jawa sepanjang abad ke-17 hingga akhir abad ke-18.
Sultan Hamengkubuwono I wafat pada 24 Maret 1792, meninggalkan warisan kejayaan yang diteruskan oleh putranya, Sultan Hamengkubuwono II. Ia tidak hanya dikenang sebagai pendiri Yogyakarta, tetapi juga sebagai pemimpin besar yang melawan penjajahan dan membangun kerajaan dengan penuh kebijaksanaan. Atas jasanya, pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 10 November 2006, tak lama setelah gempa melanda Yogyakarta.
24 Maret 2025, fajar menyingsing di Imogiri, menebarkan cahaya lembut yang membias di antara batu-batu nisan. Angin berhembus pelan, membawa aroma dupa dan tanah basah, seolah menjadi pengantar doa yang terucap lirih.
Di hadapan pusara Sultan Hamengkubuwono I, seorang abdi dalem bersimpuh dalam diam. Jemarinya yang renta menggenggam butiran tasbih, melafalkan Al-Fatihah dengan penuh takzim. Kalimat tahlil mengalun pelan dari bibirnya, mengiringi kepasrahan yang ia haturkan kepada Sang Maha Kuasa.
Kepalanya tertunduk, bahunya bergetar. Setetes air mata jatuh, menyatu dengan tanah yang telah menyimpan jejak kebesaran seorang raja. Dalam kesunyian makam yang sakral, ia merasa seolah mendengar gema langkah sang Sultan—pemimpin agung yang pernah menantang kekuasaan kolonial, membangun Yogyakarta dari puing-puing perpecahan, dan meninggalkan warisan yang tak lekang oleh zaman.
Sejarah tidak pernah benar-benar berlalu. Nama besar Hamengkubuwono I masih hidup dalam tembok-tembok keraton, dalam denyut nadi Yogyakarta, dan dalam setiap doa yang terus dipanjatkan di makam ini.
Yogyakarta yang berdiri megah hari ini adalah warisan dari seorang pemimpin yang tak hanya bertempur dengan senjata, tetapi juga dengan kecerdasan dan kebijaksanaan. Dan di bawah langit Imogiri yang kian temaram, sang abdi dalem terus berdoa, menjaga warisan itu dengan kesetiaan yang tak tergantikan.
Gamping: Emas Putih Yogyakarta
Salah satu aset ekonomi penting Kesultanan Yogyakarta adalah batu kapur gamping. Gamping tidak hanya menjadi bahan utama dalam pembangunan keraton dan masjid, tetapi juga digunakan untuk keperluan industri gula—sektor yang mulai berkembang pesat di bawah pengaruh kolonial.
Wilayah Gunung Gamping, yang terletak di barat Yogyakarta, menjadi pusat produksi gamping. Sejak lama, masyarakat setempat telah menambang dan membakar batu kapur untuk berbagai keperluan. Namun, eksploitasi yang tidak terkendali berpotensi mengancam stabilitas ekonomi dan ekologi. Oleh karena itu, pada tahun 1791, Sultan Hamengkubuwono I mengeluarkan Dokumen 14A, yang mengatur tata kelola tambang gamping di wilayah Kesultanan Yogyakarta.
Isi Dokumen 14A: Regulasi Penambangan dan Pemanfaatan Gamping
Regulasi yang dikeluarkan oleh Sultan Hamengkubuwono I mencerminkan kebijakan ekonomi yang cermat dan berbasis kedaulatan kerajaan. Beberapa poin utama dalam Dokumen 14A menunjukkan bagaimana kesultanan mengatur eksploitasi sumber daya alam secara bijaksana.
Dalam regulasi ini, setiap orang diperbolehkan mengambil dan membakar gamping dari Gunung Gamping, tetapi separuh hasilnya harus diserahkan kepada pejabat yang diberi kuasa oleh raja. Sistem ini menunjukkan adanya mekanisme bagi hasil yang menguntungkan kerajaan sekaligus mencegah eksploitasi liar.
Baca Juga : Libur Lebaran, DLH Kota Malang Harapkan Masyarakat Ikut Jaga Fasilitas Publik
Sebelumnya, para penambang Eropa tidak diwajibkan menyerahkan hasil tambangnya. Namun, dalam peraturan baru ini, mereka diwajibkan memberikan separuh hasil tambangnya kepada kerajaan, kecuali jika digunakan untuk industri gula. Untuk keperluan industri tersebut, mereka harus membayar satu rupiah putih per gerobak batu kapur sebagai kompensasi.
Dalam regulasi ini juga disebutkan bahwa tenaga kerja yang dikenal sebagai bau ayer (buruh tambang) tetap harus bekerja mengangkut batu kapur dari Gunung Gamping, baik di tanah kerajaan maupun di tanah yang disewakan kepada orang Eropa. Sistem ini menunjukkan bahwa tenaga kerja pribumi masih menjadi tulang punggung dalam eksploitasi sumber daya alam.
Selain itu, apabila kerajaan hendak membangun proyek besar seperti jembatan atau gedung, tenaga kerja tambang diwajibkan bekerja dengan sistem gugur gunung (kerja bakti). Aturan ini menegaskan bahwa kerajaan tetap mengontrol sumber daya untuk kepentingan publik dan pembangunan infrastruktur.
Terakhir, jika bagian gamping yang menjadi hak kerajaan tidak dibakar di lokasi tambang, maka boleh diganti dengan pembayaran uang berdasarkan harga pasar. Kebijakan ini memberikan fleksibilitas ekonomi serta memperkuat posisi kerajaan dalam mengendalikan harga pasar.
Dampak Kebijakan Tambang Gamping
Kebijakan yang diterapkan oleh Sultan Hamengkubuwono I dalam regulasi penambangan gamping tidak hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan kerajaan, tetapi juga memiliki dampak yang luas terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan di Kesultanan Yogyakarta.
Regulasi ini memperjelas bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak hanya bergantung pada pajak dan hasil bumi, tetapi juga pada pengelolaan sumber daya alam yang terstruktur. Dengan sistem bagi hasil dan pajak yang diterapkan dalam sektor pertambangan gamping, kerajaan memperoleh pemasukan tambahan yang signifikan. Pendapatan ini memungkinkan kesultanan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan serta memperkuat stabilitas ekonomi kerajaan.
Pada masa itu, VOC dan para penyewa Eropa mulai menguasai sektor-sektor ekonomi strategis. Melalui regulasi ini, kesultanan memastikan bahwa mereka tidak dapat mengambil keuntungan berlebih tanpa memberikan kontribusi kepada kerajaan. Kebijakan ini menjadi salah satu bentuk perlawanan ekonomi terhadap kolonialisme, sekaligus menegaskan kedaulatan kesultanan dalam mengendalikan sumber daya alamnya sendiri.
Selain mengatur aspek ekonomi, regulasi ini juga berdampak pada perlindungan ekologi. Eksploitasi gamping yang tidak terkendali berpotensi merusak lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Dengan adanya kebijakan pengawasan dan pengendalian produksi, pengambilan gamping menjadi lebih terkendali, sehingga dampak negatif terhadap lingkungan dapat diminimalkan.
Di sisi lain, kebijakan ini turut memastikan ketersediaan bahan baku untuk pembangunan infrastruktur kerajaan. Dengan sistem kerja gugur gunung, kesultanan dapat memperoleh pasokan gamping dalam jumlah yang cukup untuk mendukung pembangunan jembatan, gedung, serta fasilitas lain yang menjadi bagian dari proyek infrastruktur jangka panjang. Hal ini menegaskan bahwa regulasi ini tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada kepentingan publik dan pembangunan berkelanjutan.
Sultan Hamengkubuwono I dan Warisan Regulasi Ekonomi
Dokumen 14A tentang penambangan dan pemanfaatan batu kapur gamping pada tahun 1791 adalah bukti bahwa Sultan Hamengkubuwono I bukan hanya seorang pemimpin militer yang cakap, tetapi juga seorang ekonom yang visioner.
Regulasi ini membuktikan bahwa Kesultanan Yogyakarta memiliki kebijakan ekonomi yang mandiri dan tidak sepenuhnya tunduk pada VOC. Dengan membatasi eksploitasi sumber daya oleh pihak Eropa dan mengatur distribusi hasil tambang, Sultan Hamengkubuwono I memastikan bahwa kekayaan alam Yogyakarta tetap berada dalam kontrol kerajaan.
Keputusan ini menjadi bagian dari strategi besar untuk mempertahankan kedaulatan ekonomi, yang pada akhirnya memperkuat posisi Kesultanan Yogyakarta sebagai kekuatan politik dan ekonomi yang tangguh di Pulau Jawa. Bahkan setelah wafatnya Sultan Hamengkubuwono I pada 24 Maret 1792, prinsip-prinsip kebijakan ekonomi yang ia tanamkan tetap menjadi dasar dalam pengelolaan sumber daya alam oleh penguasa-penguasa Yogyakarta berikutnya.
Regulasi tambang gamping bukan hanya tentang batu kapur. Ia adalah simbol perlawanan terhadap kolonialisme ekonomi, sebuah warisan dari seorang sultan yang memahami bahwa kedaulatan sejati tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer, tetapi juga oleh kendali atas sumber daya alamnya.
