FISIP UB Hadirkan TDRC, Advokasi dan Riset Lintas Disiplin Soal Tembakau
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Dede Nana
03 - Oct - 2025, 06:20
JATIMTIMES - Universitas Brawijaya (UB) melalui Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) resmi meluncurkan Tobacco Research Development Corner (TDRC), Jumat (3/10/2025) di halaman gedung B FISIP. Kehadiran pusat kajian ini diharapkan menjadi ruang akademik lintas disiplin ilmu untuk membaca ulang problem tembakau, bukan sekadar dari sisi ekonomi, melainkan juga budaya, hukum, kesehatan, hingga kesejahteraan petani.
Wakil Ketua TDRC, Syahirul Alim, menegaskan bahwa tembakau adalah isu kompleks yang tak bisa dilihat hitam putih. “Tembakau itu bicara komoditas ekonomi sekaligus identitas budaya. Ada sejarah panjang, ada perdebatan kesehatan, ada aturan hukum, dan ada nasib petani. Karena itu, kami libatkan dosen dari berbagai fakultas, juga mahasiswa yang serius berkonsentrasi dalam kajian ini,” jelasnya.
Baca Juga : Cerutu Jember: Warisan Tembakau yang Terjaga Eksistensinya di Dunia
Syahirul mengungkap, TDRC sudah memiliki SK resmi dan menyiapkan program kajian rutin selama satu tahun ke depan. Kajian tidak hanya dilakukan internal, melainkan juga melibatkan mitra komunitas, termasuk kelompok pegiat kretek.
“Kita ingin membaca lebih dalam posisi petani, relasi mereka dengan negara maupun korporasi. Jadi bukan utopis, seolah bisa langsung menolong petani. Tapi setidaknya, kita hadir untuk memetakan, memahami, lalu mencari titik temu dari persoalan yang selama ini selalu dipandang ekstrem: pro atau kontra tembakau,” tambahnya.
Salah satu isu awal yang akan ditelaah adalah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Syahirul menilai kontribusi petani masih jauh dari adil. “Cukai tembakau itu sekitar 52 persen, menyumbang lebih besar dari holding BUMN, tapi bagian untuk petani cuma sekitar 2 persen. Ini tidak fair. Kita akan kaji bersama, termasuk soal tata kelola yang seringkali jadi masalah utama,” ujarnya.
Ia juga menyinggung fakta sosial yang sering terlewat dalam perdebatan tembakau. Misalnya, di Temanggung atau Madura, tembakau bukan hanya soal rokok, tapi bagian dari siklus hidup masyarakat. Bahkan di beberapa negara Afrika, tembakau masih diposisikan sebagai bagian budaya, dari mas kawin hingga suguhan tamu.
“Di Boyolali, panen tembakau itu dirayakan seperti festival yang melibatkan warga dan pemerintah. Kita ingin melihat dimensi budaya seperti ini, bukan hanya hitung-hitungan ekonomi,” terang Syahirul.
Selain advokasi dan riset kebijakan, TDRC juga membuka jalan untuk riset inovasi. Diversifikasi produk tembakau ke depan bisa meluas ke bidang lain seperti parfum, pestisida, atau riset pertanian berbasis tembakau. “Dengan melibatkan teman-teman dari pertanian dan teknologi pangan, kita coba cari potensi tembakau di luar sekedar kretek,” tambahnya.
Baca Juga : Pendampingan Riset di UIN Malang Fokus lahirkan Publikasi Kompetitif dan Berintegritas
Sementara itu, Dekan FISIP UB, Dr. Ahmad Imron Rozuli, menegaskan bahwa kehadiran TDRC merupakan bukti nyata kampus hadir di tengah masyarakat. “UB bukan menara gading. Kampus ini adalah ruang perjuangan. Kita ingin iklim akademik memberi dampak nyata, sekaligus menjadi bahtera besar bagi dosen, mahasiswa, dan mitra masyarakat,” tegasnya.
Imron juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi lintas daerah, mengingat banyak wilayah di Indonesia yang menggantungkan hidup dari tembakau. Ia menyebut Malang sebagai “periuk” tempat berbagai pemikiran dan tradisi tembakau bisa dimasak bersama.
“Hasilnya kita harap bisa membawa kebaikan bagi semua pihak,” ujarnya.
Dengan lahirnya TDRC, UB menempatkan diri bukan hanya sebagai pengamat, tetapi juga sebagai aktor penting dalam menyuarakan isu kebijakan, memperkuat advokasi petani, sekaligus membuka pintu bagi inovasi berbasis tembakau.